A. Helmy Faishal Zaini*
Konvensi (pemilihan pendahuluan) internal partai demokrat untuk memilih calon presiden menyisakan dua kandidat kuat, Barack Obama (46 tahun) dan Hillary Rodham Clinton (61 tahun), setelah bertarung habis-habisan selama lima bulan, Obama akhirnya memenangkan persaingan internal dengan suara 2.165 dari total yang diperebutkan sebanyak 2.118 delegasi. Meski Hillary belum mau mengakui kekalahannya, berat rasanya untuk melanjutkan kompetisi mengigat total suara delegasi yang dikumpulkan baru 1.926 suara. Perjuangan Obama untuk mengeliminasi Hillary bukan hal yang mudah, persaingan ketat suara delegasi yang diperoleh adalah bukti kuatnya dinasti clinton di tubuh partai demokrat.
Kini dia harus bersiap-siap menghadapi calon presiden dari Partai Republik, John McCain. Tentu bukan perkara yang mudah, pendukung demokrat akan menentukan sebuah harapan yang ditunggu-tunggu apakah ‘jago’nya akan kandas seperti Kerry pada pada saat melawan Bush, atau gempita the black president akan meruntuhkan dominasi partai republik dipanggung kekuasaan dan sekaligus mengikis era dinasti politik yang dibangun baik oleh Bush dipihak republik dan
Tulisan ini tidak hendak menganalisa faktor kemenangan Obama, tetapi lebih spesifik pada capaian angka yang diraih oleh Obama tentu bukan angka kosong, melainkan buah dari kerja kerasnya sebagai representasi tokoh muda.
Idealisme Kaum Muda
Kemenangan Obama (46 tahun) di panggung persaingan internal partai demokrat dapat dimaknai sebagai kemenangan kaum muda, kemajuan demokrasi yang anti rasial, era baru runtuhnya dinasti politik, dan wajah baru Amerika di pentas perpolitikan internasional.
Semboyan perubahan senantiasa dikumandangkan oleh obama dalam setiap kampanye bahkan tema market politiknya. Kita dengar misalnya dalam sebuah kampanye Obama menyerukan “Bahwa sebuah perubahan itu tidak bisa hanya kita percayakan pada orang-orang yang dianggap luar biasa, karena terbukti Amerika Serikat hari ini menjadi sebuah negeri yang paling dibenci akibat kebijakan-kebijakan buruknya, tetapi perubahan dapat dilakukan oleh orang-orang biasa, bahkan seperti saya sekalipun”. Slogan Change We Can Believe In bahkan telah menjadi sihir dasyat bagi upaya seorang yang dalam hidupnya ‘terjebak’ dalam multikulturalisme dan kemudian mampu keluar dari sekat-sekat sosial, budaya, dan politik melalui perjuangan panjang sebagai manusia biasa yang mendobrak kemapanan politik di negeri yang sudah ‘jadi’ sistem politiknya.
Apa yang dilakukan Obama dengan semboyan perubahan itu sejatinya adalah mainstream gerakan yang selalu tersemat di benak kaum muda. Setelah demokrasi diterima sebagai sebuah sistem bernegara, maka arus kebebasan berpendapat menjadi domain bagi terciptanya hak dasar warga negara, hanya kendala usia sering menjadi hambatan bagi kaum muda untuk dapat menggapai kekuasaan karena faktor tokoh-tokoh lama (baca:senior) yang enggan “turun panggung” kekuasaan. Inilah yang membuat pemuda lebih banyak menjadi faktor pelengkap an sich bagi demokrasi dengan demonstrasi dan aksi di jalanan. Karena itu, puisi widji tukul, “hanya satu kata: lawan” secara implementatif harus dimaknai sebagai semangat untuk melawan sistem yang mengalienasi eksistensi pemuda di panggung kekuasaan nasional dengan memunculkan kesadaran bahwa perubahan senantiasa ada sebagai tanggung jawab kaum muda untuk tampil sebagai agent kemaslahatan.
Perjalanan bangsa juga senantiasa tidak luput dari perjuangan pemuda, 5 gelombang perubahan di Indonesia, dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya orde baru 1966, dan bangkitnya orde reformasi 1998. Setelah satu abad kebangkitan nasional, peran kaum muda belum mendapatkan porsi yang cukup tepat untuk melakukan reformasi pembangunan nasional. Kemiskinan tak terbendung, pengangguran jutaan jumlahnya, warga negara yang belum merasakan pendidikan dan tidak dapat melanjutkan sekolah kian banyak, kriminalitas merajalela, dan segudang masalah bangsa belum teratasi.
Meretas Harapan
Lantas apa korelasinya kemenangan Obama dengan
Sebuah pertanyaan muncul kemudian mungkinkah
Berdasarkan poling Lembaga Riset Informasi per-juni 2008, pimpinan partai politik yang mempunyai angka popularitas tinggi secara berurutan muncul nama Megawati Soekarno Putri 96 persen (PDIP), Jusuf Kalla 89 persen (Partai Golkar), A. Muhaimin Iskandar 59 persen (PKB), Soetrisno Bachir 54 persen (PAN), M.S Kaban 33 persen (PBB), Tifatul Sembiring 32 persen (PKS), Suryadharma Ali 32 persen (PPP), Hadi Utomo 30 persen (PD), Ruyandi Hutasoit (PDS) dan Bursah Zarnubi (PBR) masing-masing 15 persen. Dari angka-angka yang dirilis Megawati, Kalla, dan Muhaimin berada di urutan tiga teratas. Dari pimpinan partai tersebut terdapat tokoh-tokoh muda yang menjalani kaderisasi dan seleksi nasional yang matang. Perebutan tiket menuju kursi RI 1 masih sangat panjang, tetapi setidaknya ‘peremajaan’ pemimpin nasional menjadi tolok ukur seberapa kuat niat kita untuk mempercayakan kualitas kaum muda untuk segera bangkit dari keterpurukan, senantiasa waspada terhadap upaya destabilisasi ekonomi dan politik, dan mengukuhkan kesadaran bahwa transisi demokrasi sedang menuju ke jalan yang kita harapkan. Keluar dari krisis menuju kemakmuran dan keadilan yang kita tunggu bersama.
Meski RUU pilpres belum usai digodok oleh DPR, tetapi koalisi antar partai tentu menjadi jalan penting mengingat kemungkinan satu partai bisa menang mutlak di pemilu sangat sulit terjadi. Inilah peluang untuk mempertemukan gerakan kaum muda untuk perubahan yang lebih baik, konsolidasi visi kebangsaan, dan memegang amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencari figur representasi kaum muda yang mampu memimpin dan berdaya saing tentu bukan tugas mudah tetapi tidak berarti tidak mungkin bukan?
* Penulis adalah Wasekjen DPP PKB dan
anggota komisi I DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar